Rabu, 21 Juli 2010

Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary (an-Nifary)

Sufi besar ini lahir di Iraq. Ketinggiannya ilmunya melampaui Rumi dan al Hallaj. Ia adalah
teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar. Nama mistikus an-Nifary mungkin agak asing
ditelinga kita.Tidak seperti al Bustami maupun al Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar.
Padahal di mata ahli tasawuf pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh. Para sufi
sesudahnya banyak yang mengikuti jejak pria kelahiran Iraq ini.

Walau lirih, An-Nifary telah meninggalkan tapak-tapak yang tidak kalah penting dibanding al
Hallaj maupun al Bustami.Bahkan dalam memaknai tasawuf an-Nifary dipandang lebih hati-hati
dan tidak kontroversial. Meskipun sosoknya bisa dibilang agak sulit, tetapi dirinya menjadi tokoh
panutan yang tiada banding.

Bernama lengkap Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary, dikenal tidak hanya
sebagai seorang sufi saja. Dunia kesusastraan telah menempatkan dirinya dalam pada puncak
kemasyhuran. Kehidupan tokoh ini sulit terlacak. Di duga ia dilahirkan di Basrah Iraq dengan
tanggal dan tahun yang sulit ditemukan. Minimnya data disebabkan oleh pribadi an-Nifary.
Sang sufi dikenal sebagai seorang yang suka menyendiri. Disamping itu kesehariannya lebih
dikenal sebagai sosok pengelana.

Kesohor sebagai pengembara menjadikan pengamat sufisme Dr. Margareth Smith
menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan Mistik Sifat itu membikin karya-karyanya jarang
terlacak. Kalaupun sekarang ada, tak lebih dari jasa orientalis Inggris, Arthur John Arberry.
Pengamat Islam ini berhasil menerjemahkan beberapa karyanya tahun 1934. Meski demikian
tidak banyak karya-karyanya yang terlacak. Pengembaraan menjadi salah satu cirinya.
Karya-karyanya juga penuh dengan perjalanan spiritual yang mengagumkan. Tidak kalah
jauhnya dengan pengembaraannya di dunia nyata. Tahap demi tahap dilakukannya sampai
pada puncak yang paling tinggi.

Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya an-Nifary. Tokoh ini terasa unik. Berbeda dengan
sufi lainnya, dalam diri an-Nifary ada dua kelebihan. Di dunia sastra sufi, an-Nifary sama seperti
ar Rumi maupun maupun al Aththar. Dibanding dengan keduanya, karya an-Nifary lebih
mendalam. Pertama, ia seorang sastrawan sufis. Kedua, ia seorang teoritikus mistik.
Pengalaman spiritual dibingkai dalam bahasa sastra yang tinggi dan elok. Tidak dapat
dipungkiri, nama an Niffrari berderet diantara sufi-sufi agung dan sastrawan sepanjang zaman.
Bait-bait puisinya tidak pernah luput dari pemaknaan tentang Tuhan. Seperti puisinya tentang
penyerahan kepada Allah berikut ini:
Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan. Dan perbuatan adalah huruf yang
tak terungkap kecuali oleh keikhlasan. Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali
oleh kesabaran. Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap oleh penyerahan
Sifat pasrah berhasil diungkapkan dalam bahasa yang indah. Puisi ini menggambarkan
bagaimana sebaiknya mengartikan kepasrahan secara mendasar. Totalitas penyerahan kepada
Tuhan akan menghasilkan pemaknaan yang benar tentang Islam. Dan itulah pula makna sujud
yang dilakukan oleh umat Islam dalam sholat. Tidak hanya kening yang melekat di hamparan
sajadah. Tetapi jauh lagi adalah menyerahkan jiwa raganya kepada Allah.

Pemahamannnya yang tinggi terhadap tasawuf menempatkannya dalam deretan teoritikus
mistik sepanjang zaman. Ada yang berpendapat bahwa an-Nifary mempunyai kemiripan
dengan al Hallaj. Keduanya telah mencapai Wahdatusy Syuhud (Penyatuan Penyaksian).
Bedanya hanya soal kehati-hatian. An-Nifary cenderung lebih hati-hati untuk tidak mengatakan
seperti al Hallaj atu al Bustami. Kalau al Hallaj mungkin lebih memilih untuk berkata ," Akulah al
Haq!". Atau al Bustami dengan kredonya yang terkenal, "Mahasuci daku, alangkah agungnya
perihalku."

Al Hallaj dalam menanggapi perjalanan spiritualnya sering kali terlihat menimbulkan kontroversi.
Bahkan gara-gara pencapaiannya ini, ia dihukum mati. Berbeda dengan al Bustami maupun
an-Nifary. Dua sosok ini lebih hati-hati dalam mengungkapkan pencapaian-pencapaian
spiritualitasnya. Walau begitu kesalahan pemahaman terhadap keduanya juga sering
bermunculan.


Karya-karya an-Nifary

Terlepas dari itu semua, pemikiran tasawuf dengan sangat memukau. Tasawuf di kaji secara
mendalam dengan argumentasi yang cerdas. Sufisme menjadi bahasa spiritual sekaligus ilmu
pengetahuan. Melalui simbol-simbol tampak sekali perjalanan dan konsepnya tentang tasawuf.
Meski dengan hati- hati, ia mampu menerjemahkannya dalam sebuah pola berfikir yang jitu.
Ada sebuah karyanya yang penting dan dapat dinikmati sampai sekarang. Kitab berjudul al
Mawafiq wal Mukhthabat ( Posisi-Posisi dan Percakapan-Percakapan). Diakui banyak
pengamat, karyanya ini sarat dengan simbol. Hasilnya bahasa-bahasa kiasan itu sering
menimbulkan kontroversi. Dimungkinkan kalau tidak hati-hati akan menimbulkan pemaknaan
yang salah.

Selanjutnya karya ini menjadi dua bagian penting. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya. Ada sebuah cerita menarik tentang karyanya ini. Menurut pendapat
satu-satunya pemberi syarah karya an-Nifary, Afifuddin at-Tilmisani bahwa ia tidak menulis
sendiri karyanya. An-Nifary hanya mendiktekan ide dan pengalaman spiritualnya pada sang
anak. Atau ia hanya menulis dalam potongan-potongan kertas dan kemudian disusun kembali
oleh putranya itu. Dimungkinkan kalau karyanya ditulis dan disusun sendiri akan lebih
sempurna dan indah.

Dalam bagian pertama kitab ini diterangkan maqam, posisi atau tempat berdiri seseorang.
Mawafiq yang merupakan jamak dari mauqif menunjukkan posisi seseorang dalam tingkatan
spiritualitas. Posisi itu sendiri disebut waqfah. Menurutnya waqfah ini merupakan sumber ilmu.
Tentang hal ini Dr.Fudholi Zaini menulis,” Waqfah adalah ruh dari ma’rifat, dan pada ma’rifat
adalah ruh dari kehidupan. Pada waqfah telah tercakup di dalamnya ma’rifah, dan pada
ma’rifah telah tercakup di dalamnya ilmu. Waqfah berada dibalik kejauhan ( al ab’ud ) dan
kedekatan (al qurb), dan ma’rifah berada dalam kedekatan, dan ilmu ada dalam kejauhan.
Waqfah adalah kehadiran Allah dan ma’rifah adalah ucapan Allah, dan ilmu adalah tabir Allah.
Dengan demikian urutan dari besar ke kecil sebagai berikut: waqfah, ma’rifah dan ilmu.”
Proses penyaksiaan ini menjadi hal yang sangat pribadi. Bila orang mencapai maqam tinggi,
perkataannya bisa menjadi sesuatu yang tidak jelas dan sulit dimengerti. Bahkan dalam
beberapa hal sukar untuk dikomunikasikan. Maka dari itu an-Nifary memilih diam ketika
melewati tahapan spiritualitasnya. Baginya kata-kata tidak pernah bisa menampung
penglihatannya.

Dalam kitab ini juga diterangkan tentang ilmu dan amal perbuataan atau makrifat dengan
ibadah. Ia mengatakan berpendapat hakekat ilmu adalah perbuatan. Hakekat perbuatan adalah
keihlasan. Hakekat keikhlasan adalah kesabaran, dan hekekata kesabaran adalah penyerahan.
Baginya hehekat tidak akan terbentuk kecuali dengan syariat. Demikian pula ide tidak akan
terlaksana kalau tidak ada penerapan dan perbuatan. Makanya kerterkaitan antara syariat dan
hakaket menjadi penting artinya.

Sedang dalam al Mukhathabat berisi kata-kata batin dan kata-kata yang Maha Kuasa dalam diri
sang sufi. Di mana dalam posisi terakhir ini an-Nifary lebih memilih diam. Pengalaman ruhani
yang luar biasa ini menimbulkan spontanitas yang membuatnya menjadi gagap. Menutut
Dr.Fudholi Zaini, kitab al Mukhathabat ini biasanya diawali dengan ungkapan”Ya abd!” (Wahai
hamba). Di tulis juga dalam kitab ini bahwa ilmu menempati posisi yang utama. Semua jalan
menuju Tuhan harus lewat ilmu.

Tak salah kalau AJ Arberry memandang an-Nifary sebagai teoritikus ulung. Spiritualitas di
tangannya bisa lebih dipahami. Dengan pengungkapan melalui bahasa sastra yang indah,
beberapa pokok pandangan sufistiknya mengalir lancar. Sebagai ulama yang sangat
memegang syariat, cara bertuturnyapun cenderung tidak melewati aturan. Emosi
pengembaraan spiritual tergambar pelan-pelan menuju puncak Ilahiyah.


Kata-kata Bijak an-Nifary

Membaca ujaran-ujaran an-Nifary kita akan melihat cara pandangnya. Beberapa pemikirannya
tentang ilmu, tabir sampai persaksian dengan Tuhan berhasil dijelaskan. Tidak ada kata yang
meledak-ledak. Padahal simbol dan makna yang diungkapkannya kadang terasa aneh dan
gelap. Berikut beberapa ujaran an-Nifary yang berhasil dihimpun oleh pengamat sufisme
Margareth Smith sebagaimana ditulis dalam buku ujaran-ujaran dan Karyanya :
“ Keabadian melagukan pujian kepada-Ku dan ia adalah salah satu sifat-Ku yang wajib
melakukan hal itu, dan telah Aku ciptakan dari pujiannya malam dan siang dan telah Aku buat
keduanya dalam selubung-selubung yang merentang mengelilingi mata dan pikiran manusia,
dan mengelilingi benak dan kalbu mereka. Malam dan siang adalah dua selubung yang saling
merentangi semua yang telah Aku ciptakan, tetapi karena Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku,
telah Aku angkat kedua selubung itu agar kau bisa melihat Ku dan kau telah melihat Ku ,
karenanya berdirilah dihadapan Ku dan teruslah dalam penglihatan Ku, karena kau tidak akan
terpisah oleh sesuatu yang tak mungkin megak dan serahkanlah hanya kepada Ku semua yang pernah Aku wujudkan kepadamu.”

Disamping itu juga ditulis,” Tuhan berkata kepadaku : “Tanyakan kepada-Ku dan katakan,”
Duhai Tuhan , berapa lama aku harus berpegang teguh kepada Mu , agar ketika hari
pembalasan tiba, engkau tidak menghukumku dengan hukuman Mu dan Engkau tidak berpaling
dariku ?” Dan Aku akan berkata kepadamu ,” Berpegang teguhlah pada hukum agama (Sunah)
dalam pengetahuan dan tindakan, dan perpegang teguhlah engkau pada ilmu yang telah Aku
berikan kepadamu kedalam kalbumu, dan ketahuilah bahwa ketika Aku menjadikan diri Ku
terlihat olehmu, Aku tidak akan menerima darimu dari apa yang datang kepadamu dari
penjelmaan Ku yang terlihat untukmu, karena kepada kaulah Aku telah berbicara. Kau telah
mendengarkan Ku, kau mengetahui bahwa kau mendengarkan Ku dan kau memahami bahwa
semua benda berasal dari Ku”

Sedang Dr.Fudholi Zaini menerjemahkan beberapa ujarannya sebagai berikut:
“Ia menghentikanku dalam posisi kebangggan dan berkata kepadaku: Akulah yang lahir dan tak
ada yang tampak dariku. Dekatnya tak bisa memantauku dan wujudnya tak bisa menujukku.
Akulah penyembunyi yang batin dan aku lebih tersembunyi darinya. Dalilnya tak bisa
melacakku dan lorongnya tak sampai kepadaku.

Kebodohan itu tabirnya penglihatan dan ilmu juga tabirnya penglihatan. Akulah yang lahir tanpa
tabir dan hijab, dan akaulah yang batin tanpa singkap. Siapa yang telah mengenal hijab maka
ia akan segera menjelang singkap.” Selanjutnya ia menulis, “ Kedirian seorang waqif adalah
diamnya. Kedirian seorang arif adalah ucapannya. Kedirian seorang alim adalah ilmunya.”
Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya an-Nifary. Kata-kata diatas mengambarkan
pemaknaan yang cukup dalam tentang pengetahuan dan makrifat. Tiap kali bertambah ilmu
serta makrifat, semakin sedikitlah kata-kata yang bisa diungkapkan. Yang ada hanya
ketakjuban akan pesona keindahan dan kebesaran Sang Segala Keindahan.


Syair-syair Sufistik An-Niffari

Berbeda dengan para sufi penyair kebanyakan, an-Niffari dipandang sebagai sosok sufi penyair yang unik. Ia lebih suka hidup menyendiri, meskipun selama hayatnya ia banyak melakukan pengembaraan ke berbagai negeri Islam. Bahkan terhadap karya-karya syair sufistiknya sekalipun, orang tak mungkin mengenalnya jika tanpa bantuan Arthur John Arberry, orientalis Inggris yang pernah menulis buku Tasawuf versus Syari’at. Arberry telah menemukan karya An-Niffari, dan kemudian menerbitkannya pada tahun 1934. Salah satunya karya an-Niffari yang terpenting dan ditemukan Arberry itu adalah Al-Mawaqif wal Mukhathabat (Posisi-posisi dan Percakapan).

Menurut, pengamat sastra sufi Dr. Fudloli Zaini sebagaimana ditulis dalam bukunya Sepintas Sastra Sufi: Tokoh dan Pemikirannya (2000), karya an-Niffari ini terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama adalah Al-Mawaqif (jamak dari mauqif), yang berarti posisi, sikap atau tempat berdiri seseorang. Keposisian itu sendiri disebut waqfah. Secara gamblang, an-Niffari melukiskan apa yang dimaksud dengan waqfah ini. Menurutnya, waqfah tak lain adalah sumber ilmu. Kalau pada waqif ilmunya bersumber pada dirinya sendiri, maka pada setiap orang lain ilmu mereka bersumber pada sesuatu yang berada di luar. Waqfah adalah ruh dari ma’rifah, dan ma’rifah adalah ruh dari kehidupan. Pada waqfah, demikian jelas an-Niffari, telah tercakup di dalamnya ma’rifah, dan pada ma’rifah telah tercakup di dalamnya ilmu. Waqfah berada di balik kejauhan (al-bu’d) dan kedekatan (al-qurb), ma’rifah ada di dalam kedekatan, dan ilmu ada di dalam kejauhan. Waqfah adalah kehadiran Allah, ma’rifah adalah ucapan Allah, dan ilmu adalah tabir Allah. Dengan demikian ada urut-urutan dari besar ke kecil sebagai berikut: waqfah, ma’rifah, dan ilmu.

Dalam Mauqif al-Qurb, an-Niffari misalnya mengatakan:

Ia menghentikanku dalam posisi kedekatan,
dan berkata kepadaku:
Tak suatu pun lebih jauh dariku
terhadap sesuatu yang lain,
Tak satu pun lebih dekat dariku,
terhadap sesuatu yang lain,
Kecuali atas dasar hukum ketetapannya,
dalam hal kedekatan dan kejauhan,
Kejauhan diketahui dengan kedekatan,
kedekatan diketahui dengan wujud,
Akulah kedekatan yang tidak mencariku,
dan wujud yang tidak berakhir padaku.

Ia melanjutkan :
Akulah yang dekat,
tidak seperti kedekatan sesuatu dari sesuatu,
Akulah yang jauh
tidak seperti kejauhan sesuatu dari sesuatu.
Dekatmu bukanlah jauhmu,
Dan jauhmu bukanlah dekatmu.
Akulah yang dekat yang jauh,
dekat yang adalah jauh dan jauh yang adalah dekat.
Dekat yang kau ketahui ketahui adalah jarak,
Dan jauh yang kau ketahui adalah jarak,
Akulah yang dekat yang jauh tanpa jarak,
Aku lebih dekat dari lidah terhadap ucapannya,
tatkala ia menyebut sesuatu.
Maka yang menyaksikanku tidak menyebutku,
dan yang menyebutku tidak menyaksikanku.

Perjalanan waqfah, menurut an-Niffari, tak lain adalah persetujuan Allah kepadanya atau bersamanya menurut keadaan hal dan maqam-nya. Ia tak lain merupakan jawaban atas panggilan-Nya kepadanya di dalam dirinya sendiri. Bilamana seorang arif telah sampai pada puncak kesiapan dan waqfah nuraninya, terguyurlah ia dalam guyuran cahaya Ilahi di mana ia merasa tidak bisa membedakan antara dirinya dan Tuhannya. Hilanglah dirinya di dalam-Nya. Saat itu ia tak lagi menginginkan sesuatu, karena ia telah lebur dan tenggelam dalam yang di inginkannya itu. Kalau seorang waqif masuk ke dalam setiap rumah, rumah-rumah itu tak akan bisa memuatnya. Dan bila ia minum dari setiap tempat minum, itu tak akan pernah menghilangkan dahaganya

Kedua adalah Al-Mukhathaba. Menurut Fudloli, Al-Mukhathabat adalah percakapan batin dan kata-kata Yang Maha Kuasa dalam diri sang penyair sufi di mana yang terakhir ini memilih untuk berdiam diri. Pengalaman ruhani yang begitu hebat dan mempesona itu merupakan spontanitas yang membuatnya jadi gagap dan gagu. Secara umum, menurut Fudloli, Al-Mukhathabat ini biasanya
dimulai dengan ungkapan, “Ya Abd!” (Wahai Hamba!).
Misalnya:

Hai hamba, engkau lapar,
maka kau makan yang ada padamu dariku,
dan aku bukan darimu,
Engkau dahaga,
maka kau minum yang ada padamu dariku,
dan aku bukan darimu.
Hai hamba, setelah kau kuberi,
kau mensyukuri apa yang ada padamu dariku,
dan aku bukan darimu.

Pada bagian lain syairnya, ia juga mengatakan:

Hai hamba, katakan,
aku berlindung kepada dzatmu,
dari segala dzat yang ada,
aku berlindung kepada wajahmu,
dari segenap wajah yang ada,
aku berlindung kepada kedekatanmu,
dari kejauhanmu,
Aku berlindung kepada kejauhanmu,
dari kemurkaanmu,
aku berlindung kepada penemuanku padamu,
dari kehilanganmu.

An-Niffari memiliki nama lengkap Muhammad Ibnu Abd al-Jabbar an-Niffari. Ia dilahirkan di Basrah (Irak). Tak diketahui pasti kapan ia sendiri dilahirkan, kecuali hanya wafatnya pada tahun 354 H.

Satu cacatan yang perlu dijelaskan di sini, konon menurut salah seorang pensyarah kitab karya an-Niffari, Afifuddin at-Tilmisani (w. 690 H), an-Niffari tidak menulis sendiri karyanya itu melainkan ia hanya mendiktekannya saja kepada putranya atau menuliskannya pada potongan-potongan kertas, yang kemudian disusun dan disalin kembali oleh putranya sesudah sang syekh meninggal.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar