Rabu, 21 Juli 2010

Pemahaman Tokoh Sufi Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Abstrak :
Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah. Yang lain mengatakan Sufi adalah orang tulus terhadap Allah dan mendapat rahmat tulus dari padanya. Tetapi, bila istilah sufi berasal dari safa’, maka bentuk yang tepat, seharusnya safawi. R.A. Nicholson dalam membicarakan definisi tasawuf mengumpulkan 12 macam definisi yang semuanya berasal dari asal kata safa’.

Ada lagi yang mengatakan Sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau ia memiliki sesuatu ia mempergunakannya sekedarnya. Tetapi, kalau istilah sufi berasal dari kata suffah, maka bentuknya yang benar menjadi suffi, bukan sufi. Ibnu khaldun juga berpendapat bahwa kata sufi merupakan kata jadian dari suf. Tetapi perlu diingat, bukan sekedar karena ia memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba (suf) itu, maka seseorang disebut sufi. Noldeke, demikian Nicholson menjelaskan, dalam sebuah mulanya sebutan tersebut dikenakan pada orang-orang Islam yang Hidup seperti pertapa (askesis), meniru kehidupan para biarawan Nasrani. Orang-orang tersebut biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar, sebagai tanda tobat dan kehendaknya untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Hal ini menimbulkan Banyak pengamat menilai dari berbagai pendapat Tokoh Sufi abad pertama dan kedua hijriah tentang tasawuf.

Kata Kunci : Sufi, Tasawuf, Hasan al-basri, Ibrahim bin Adham, Sufyan al-sauri, Rabi’ah al-Adawiyah.


Tokoh-tokoh Sufi abad pertama dan kedua hijriah. yang Pertama, adalah Hasan al-basri Nama lengkapnya al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Sa’id. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada tahun 110 Hijriah/728 Masehi. Ia adalah putra Zaid menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. Ia sempet bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi, termasuk tujuh puluh di antara mereka adalah yang turut serta dalam perang Badr. Ibunya adalah hamba sahaya Ummu salamah, Isteri nabi. Ia tumbuh dalam lingkungan orang saleh yang mendalam pengetahuan agamanya.Hasan al-Basri adalah seorang zabid yang termasyhur di kalangan tabi’in. Prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi; bahkan beliaulah yang mula-mula memperbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela.

Dasar pendirian Hasan al-Basri adalah hidup zubd terhadap dunia, menolak segala kemegahannya, hanya semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf dan raja’. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan dengan pengharapan. Takut akan murkanya, tetapi mengharap akan rahmatnya. Yang Kedua, adalah Ibrahim bin Adham Namanya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam legenda sufi, ia dikatakan sebagai seorang pengeran yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara kea rah Barat untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun pada tahun 160 H/777 M. Beberapa sumber mengatakan bahwa Ibrahim terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium. Ibrahim bin Adham adalah salah seorang zabid di Khurasan yang sangat menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, menurut Nicholson, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinya. Dia lebih suka memakai baju bulu domba yang kasar dan mengarahkan pandangannya ke negeri Syam (Syria), di mana ia hidup sebagai penjaga kebun dan kasar lainnya. Suatu ketika ia ditanya: “ Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Dia menjawab: “ Kupegang teguh agama di dadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri yang lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bisa memelihara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku, sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematian.

Kemudian, di antara ucapan-ucapannya, dia pernah mengatakan : “ Ketahuilah, kamu tidak akan bisa mencapai peringkat orang-orang saleh kecuali setelah kamu melewati enam pos penjagaan. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kenikmatan dan membuka pintu gerbang kesulitan, hendaklah kamu menutup gerabang kemusyrikan dan membuka pintu gerbang kehinaan, hendaklah kamu menutup pintu gerbang hidup santai dan membuka pintu gerbang kerja keras, hendaklah kamu menutup pintu gerbang tidur dan membuka pintu gerbang jaga tengah malam, hendaklah kamu menutup pintu gerbang kekayaan dan membuka pintu gerbang kemiskinan, dan hendaklah kamu menutup pintu gerbang cita-cita dan membuka pintu gerbang kesiapan menghadapi mati.”

Konon ia pernah berdoa: “ Ya Allah, Engkau tahu bahwa surge tak layak bagi diriku, walau seberat sayap agas pun. Jika kau lindungi diriku, engaku cintai diriku dank au mudahkan bagiku dalam menaatimu, maka karuniakanlah surgamu bagi engkau yang engkau kehendaki.”

Tampak jelas betapa dia diliputi rasa takut, seperti halnya semua zabid semasanya, berusaha sungguh-sungguh demi akhirat, sikap zubd terhadap dunia dan tindakan yang tidak mengenal kompromi dalam ketaatan yang dilakukannya. Yang Ketiga, adalah Sufyan al-sauri Namanya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Sauri al-Kufi. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 97 H/715 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 161 H/778 M. Dia adalah seorang tabi’in pilihan dan seorang zabid yang jarang ada tandingannya; bahkan merupakan seorang ulama hadis yang terkenal, sehingga dalam merawikan hadis, dia dijuluki amir al-mu’minim dalam hal hadis. Dan dia adalah salah seorang dari ulama mujtabidin yang mempunyai mushab sendiri. Menurut riwayat, Abu al-Qasim al-Junaid mengikuti mushab beliau. Dan mashabnya bisa bertahan selama dua abad.

Mula-mula ia belajar dari ayahnya sendiri, kemudian dari banyak orang-orang pandai di masa itu sehingga akhirnya ia menjadi seorang ahli dalam bidang hadis dan teologi . pada tahun 158 H/715 M. ia menantang pejabat-pejabat pemerintahan sehingga ia terpaksa menyembunyikan diri di kota Mekkah. Dan dia menjalani hidup pertapaan yang keras sehingga para sufi menyebutnya sebagai seorang manusia suci.

Sufyan al-Sauri sempat berguru kepada Hasan al-Basri, sehingga fatwa-fatwa gurunya tersebut banyak mempengaruhi jalan hidupnya. Karena itu, hidup kerohaniannya menjurus kepada hidup bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan kemewahan duniawi. Dia menyampaikan ajaran agama kepada murid-muridnya agar jangan terpengaruh oleh kemewahan dan kemegahan duniawi, jangan suka menjilat kepada raja-raja dan penguasa, muru’ah herus dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya, dan jangan samapai mengemis-ngemis kepada penguasa.

Sufyan al-Sauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh dalam mengemukakan kritik terhadap penguasa, beliau sangat mencela kehidupan para penguasa yang bergelimang dalam kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan Negara yang diperoleh dari hasil ekspansi dan kemajuan islam, sementara masih banyak rakyat yang hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang member nasihat kepada umat islam agar jangan mengikuti perikehidupan mereka uang telah rusak moralnya itu, yang jauh dari ajaran Nabi SAW dan para sahabat. Di antara uacapan-ucapanya dalam meberi nasihat itu ialah “ supaya jangan rusak agamamu.” Contoh lain tentang sikap zubd, kerendahan hati dan ketidakperdulian beliau terhadap atribut-atribut duniawi, beliau menolak/melarikan diri dari al-Mahdi ketika khalifah itu hendak mengangkatnya sebagai Hakim Agung. Yang Keempat, adalah Rabi’ah al-Adawiyah Nama lengkapnya ialah Ummu al-Kahir Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebaginya hanya bercorak mitos. Dia lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M, lalu hidup sebagai hamba sahaya keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin dan dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Menurut sebuah riwyat dia meninggal pada tahun 185 H/801 M. Orang-orang mengatakan bahwa dia dikuburkan di dekat kota Jerussalem.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-bubb) khas sufi ke dalam mistisisme dalam Islam.

Dalam salah satu riwayat dikatakan, dia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zubd dan hanya ingin berada dekat pada Tuhan.

Sebagaimana halnya para zabid sebelum dan semasanya, diapun selalu diliputi tangis dan rasa sedih. Al-Sya’rini, misalnya, dalam Al-Tabaqat al-Kubra’ menyatakan bahwa “dia sering menangis dan bersedih hati. Jika ia diingatkan tentang neraka, maka beberapa lama dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya selalu basah oleh air matanya.” Dan diriwayatkan bahwa Rabi’ah terus-menerus salat sepanjang malam setiap harinya. Kalau fajar tiba, dia tidur beberapa saat sampai fajar lewat. Diriwyatkan pula bahwa ketika bangun tidur dia selalu berkata : “Duh jiwa! Berapa lama kau tidur dan sampai dimana kau tertidur, sehingga hampir saja kau tertidur tanpa bangkit lagi kecuali oleh terompet Hati Kebangkitan!” Demikianlah hal ini dilakukannya setiap hari sampai meninggal dunia.

Seperti telah tersinggung di atas, isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, dia mengabdi, melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya kepada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu sekat dengan Allah; dan cinta itu pulalah yang membuat ia sedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Illahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya: “ Apakah kamu benci pada setan?” Ia menjawab:” Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci pada setan.” Karena begitu cintanya kepada Tuhan, ia pernah ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. Ia menjawab:”Saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.

Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diungkapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga seperti telah disebutkan di atas ia menolak semua tawaran kawin dengan alas an bahwa dirinya adalah milik Allah, yang dicintainya; dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta izin kepada Allah. Dengan demikian, menurut al-Taftazani, dapat disimpulkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah, pada abad II Hijiriah, telah merintis konsep zubd dalam islam berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, dia tidak hanya berbicara tentang cinta Illahi, namun juga menguraikan ajaran-ajaran tasawuf yang lain, seperti konsep zubd, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, rida dan lain sebagainya.

Referensi :
Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Jamil.2007.Cakrawala Tasawuf.Jakarta:GP.Press
Sireger,Rivay.2002.Tasawuf(dari sufisme Klasik ke Neo Sufisme.Jakarta:Rajawali après
Hamka.1986.Tasawuf Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta:P.T.CITRA SERUMPUN PADI
Nata,Abudin. 2003.Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Hilal,Ibrahim.2002.Tasawuf(antara agama dan filsafat).Bandung.PUSTAKA HIDAYAH



Tidak ada komentar:

Posting Komentar