Rabu, 21 Juli 2010

Syekh Siti Jenar; Manunggaling Kawula Gusti

Riwayat Hidup

Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit.

Versi lain mengatakan bahwa Siti Jenar sebenarnya bukan bukan orang Jawa, tetapi dari Malaka. Adapula yang mengtakan bahwa Siti Jenar adalah putra bangsawnan Cirebon. Dan versi terakhir barangkali lebih masuk akal, Siti Jenar adalah rakyat biasa namun ia memiliki kemampuan intelektual yang tinggi. Meskipun cerdas dan bahkan melebihi para Sunan, ia tetap tidak bisa disejajarkan dengan para Sunan tersebut karena ia berasal dari kaum Sudra. Inilah yang membuatnya berontak, melawan aturan kenigratan agama, dan timbul sebagi simbol anti kemapanan.

Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi.

Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.

Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).

Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.

Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)

Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.

Manunggaling Kawula Gusti
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.

Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.

Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat.

Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.

Yang disampaikan dalam ajaran Syeikh Siti Jenar adalah ajaran insun yang radikal yang mengajarkan kesamaan tuntas antara pembicara dan Allah. Siti Jenar terus menamakan badan materiial (jism) Allah yang sebenarnya tidak ada. Para wali menolak pendapat itu dan menganggap Siti Jenar seorang yang menyimpang dari kebenaran. Sunan Giri ketua Muktamar, menyatakan bahwa hanya Allah lah yang berhak atas gelar prabu satmata (Yang Maha Tahu) yang dituntut oleh Siti Jenar, tak seorangpun sama dengan Allah.

Lalu Siti Jenar diusir dari Giri, selanjutnya Siti Jenar membuka padepokan sendiri di Krendhasawa (dekat Cirebon) dan mengajarkan ilmunya kepada orang-orang disekitarnya. Ajaran yang disampaikan Siti Jenar dianggap sesat oleh para wali, karena dinilai telah menyimpang dari akidah. Hal tersebut ditambah dengan sikap muridnya yang suka membuat keributan ditempat-tempat umum.

Terasa perbedaan jelas antara ajaran Syeikh Siti Jenar dan ajaran paar wali lainnya. Syeikh Siti Jenar dituduh menyebarkan ajaran esoteris kepada rakyat jelata dan atas dasar itu ai ditindak, ini tidak berarti bahwa ajaran itu sama dengan ajaran para wali lainnya. Sekalipun salah seorang wali dikemudian hari dibujuk dan mengakui bahwa Siti Jenar memang benar, tetapi bahwa itu semua tidak boleh disebar luaskan, karena itu n bertentangan dengan perintah raja, maka ia terus ditegur.

Akhirnya wali songo membujuk Sultan Demak Bintoro agar menjatuhkan hukuman mati bagi Syeikh Siti Jenar. Akhirnya Siti Jenar pun dijatuhi hukuman mati, dan para wali sendiri yang bertindak melakukan eksekusi tersebut. Karena bagaimanapun juga, Siti Jenar dianggap masyarakat waktu itu sebagai wali.

Namun Siti Jenar lebih memilih caranya sendiri untuk mati. Ia telah memiliki ilmu yang sempurna tentang kematian hingga ia mematikan dirinya sendiri atas kehendak Tuhan. Kejadian itu membuat takjub para wali dan membuatnya sadar bahwa yang diajarkan Syeikh Siti Jenar selama ini benar adanya. Mereka secara sportif mau belajar tentang ilmu kesempurnaan makrifet ari Siti Jenar ini. Salah satunya adalah Sunan Kudus yang belajar pada Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga salah seorang murid sekaligus teman Siti Jenar.


Penutup
Syeikh Siti Jenar adalah rakyat biasa namun memiliki kemampuan intelektual tinggi. Meskipun cerdas dan bahkan melebihipara sunan, ia tetap tidak bisa disejajarkan dengan para sunan tersebut karena ia berasal adri kaum Sudra. Inilah yang membuatnya berontak, melawan aturan keningratan agama, dan timbul sebagi simbol anti kemapanan.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abdullah, Nawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, 1999
  • Wahyudi, Agus. Inti Ajaran Makrifat Islam-Jawa: Menggali Ajaran Syeikh Siti Jenar dan Wali Songo dalam Perspektif Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Dian Yogyakarta, 2006
  • Zoet Mulder, P.J. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monoisme dalam Sastra Suluk Jawa, penterjemah. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar