Rabu, 21 Juli 2010

Sufi dan Sufisme

Sebelum membahas lebih dalam siapa saja tokoh-tokoh tasawwuf yang memaparkan pemikirannya dalam tasawwuf, perlu diketahui bahwa pada dasarnya para tokoh pemikir tasawwuf tersebut mempunyai tujuan sama yaitu untuk mewujudkan sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah semata.
Para sufi yang mempunyai pemikiran tentang tasawwuf antara lain, Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali,Zun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Husein bin Mansur al-Hallaj, Muhyiddin Ibn Arabi.

1. Rabi’ah al-Adawiyah (mahabbah)
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H13. Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun185 H14. Latar belakang hidupnya berawal dari seorang hamba atau budak yang dibebaskan. Di kehidupan selanjutnya ia banyak beribadat dan bertaubat, meninggalkan urusan duniawi. Hidupnya dalam kesederhanaan, menolak bantuan orang berupa material yang diberikan kepadanya. Dalam semua do’a yang pernah dipanjatkannya ia tidak pernah meminta yang bersifat materi kepada Allah. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah.

Hampir seluruh literatur tasawwuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapan yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.

Kata mahabbah sendiri berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Selain itu mahabbah juga dapat berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan memperoleh kebutuhan yamg bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seseorang kepada kekasihnya, cinta orang tua pada anaknya, cinta seorang sahabat. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh seseorang untuk mendapatkan tingkat rohaniah yang tinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.

Dilihat dari tingkatannya, menurut al-Saraj ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang arif.

Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah dan senantiasa memuji Allah. Selanjutnya mahabbah rang shidiq, adalah cinta orang yang kenal pada Allah, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini mampu menghilangkan kehendak orang dan sifat-sifatnya sendiri. Sedangkan cinta orang yang arif adalah cinta seseorang yang benar-benar tahu pada Allah. Yang dilihat dan yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan kepada Tuhan melalui cinta (roh).

2. Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri (ma’rifah)
Al-ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. di Ghazelah, kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawwuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus di tahu 1105 M. dan meninggal disana pada tahun 1111 M.

Sedangkan Zun al-Misri bearsal dari Naubah, suatu negri yang terletak Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M. menurut beberapa pendapat beliaulah puncaknya kaum Sufi dalan abad ketiga hijrah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan.

Dari segi bahasa ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahuihakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.

Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawwuf. Dalam arti sufistik ini ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat pada diri Tuhan.

3. Abu Yazid al-Bustami (fana)
Dalam sejarah tasawwuf, Abu Yazid al-Bustami dikenal sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya adalagh Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang-orang tentang pendiriannya. Ia pernah mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang dapat melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”.

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda pengertiannya dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hal ini Ibnu Sina ketika membedakan benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa benda-benda yang bersifat alam itu atas dasar permulaannya bukan atas dasar perubahan bentuk dari bentuk satu ke bentuk lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan cara rusak.

Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.

Dalam pada itu Musthafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yaitu sifat sebagai manusia biasa yang mempunyai dan menyukai syahwat dan nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau alam mahluk.

Sebagai akibat dari sifat fana adalah baqa. Secara harfiah, baqa berarti kekal. Namun menurut yang dimaksuk para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.

Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka, muncullah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan. Diantara ucapan ganjil yang keluar dari mulutnya : “Tidak ada Tuhan selain saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku”.

Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu bukanlah kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata yang diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Itihad yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya sebagai Tuhan.

4. Husein bin Mansur Al-Hallaj (al-hulul)
Tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj, nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur Al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. di negri Baidha, salah satu kota kecil yang yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad dan dalam usia 16 tahun ia telah belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya ia pergi ke Bashrah dan belajar pada seorang Sufi bernama Amr al-Maliki, dan pada tahun 264 H ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga merupakan seorang Sufi. Selain itu ia juga pernah melaksanakan ibadah haji tiga kali di Mekkah. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawwuf yang cukup kuat dan mendalam.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nashr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalam setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari pemikiran al-Hallaj yang menyatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut yang berarti ketuhanan, dan nasut yang berarti kemanusiaan.

Al-hallaj mempunyai kesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga tedapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada pada diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ketahap ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana.

Berdasarkan uraian di atas maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu proses yang dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya merupakan nama lain dari al-Ittihad. Sedangkan tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin.

5. Muhyiddin Ibnu Arabi (Wahdat Al-Wujud)
Wahdat al-Wujud merupakan ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-Wujud. Wahdat berarti tunggal atau kesatuan, sedangkan al-Wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-Wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahadah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam, di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak bisa dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-Wahdah digunakan pula oleh ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan anatra materi dan roh, substansi (hakikat), dan forma (bentuk), anatara yang tampak (lahir) dan yang batin, antar alam dam Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.

Pengertian yang terakhir dari dari wahdatul wujud itulah yang dijadikan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut paham ini tiap-tiaop yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-Khalq yang berarti makhluk al-‘arad yaitu kenyataan luar, dan aspek dalam yang disebut al-Haq yaitu Tuhan al-jauhar yaitu hakikat dan al-bati yang berarti dalam.

Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, ekstensi atau substansi. Sedang aspek al-khalq luar atau yang tampak merupakan bayangan yang ada karena aspek pertama yaitu al-haqq.

Paham Wahdatul Wujud diwah oleh Muhyiddin Ibnu Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan disana ia masuk aliran sufi. Pada tahun 1202 M ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskuspada tahun 1240 M.

Selain sebagai sufi, Ibnu Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarang menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, diantaranya ada yang hanya terdiri dari 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al-Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawwuf.


Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa paham-paham tasawwuf yang dianut oleh para sufi mempunyai tujuan yang sama, yaitu tasawwuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Atau dalam arti lain tasawwuf merupakan upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehinggatercermin akhlakyang mulia dan dekat dengan Alla SWT. Dengan kata lain, tasawwuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar